Kau tau, saat dulu kita masih sering berbicara, di hari-hari itu hanya kaulah yang ada di pikiranku. Kau memberikanku gambaran bgmn rasanya memiliki seseorang untuk dicintai. Pada saat itu, aku berusaha sebisa mungkin menyamakan frekuensiku denganmu, karena kita punya perbedaan yang tidak sedikit. Tapi aku tak mau kehilangan kamu, maka aku coba beradaptasi, menerapkan prinsip 'survival of the fittest' karena kupikir hubungan kita punya peluang untuk 'survive'.
Namun begitu, semakin hari aku merasa kita semakin jauh. Kita hanya baru berjumpa satu kali, saat kita berkenalan. Sebenarnya aku sangat ingin berjumpa denganmu lagi, sampai aku mencari celah sekecil apapun yang berpeluang mempertemukanku denganmu. Aku bahkan mempertaruhkan harga diriku dengan mengajakmu keluar untuk menikmati secangkir teh, undangan yang akhirnya kau tolak. Dan saat itu aku merasa sungguh bodoh karena mengajakmu pergi. Sampai sekarang aku masih belum bisa memastikan apakah penolakanmu itu karena kau tak ingin bertemu lagi denganku, atau memang benar karena kau tak ingin mengganggu aku dan temanku yang juga aku ajak untuk menemani kita.
Bahkan barangkali kau tak akan tau kalau orang utama yang ingin kuajak keluar malam itu adalah kamu, dan bukan temanku itu. Barangkali, kalau kamu tau, kamu akan mau pergi denganku?
Aku tidak tau hal apa pada dirimu yang begitu menarik untukku, bahkan aku pun belum yakin kalau aku benar-benar tertarik padamu. Mungkin kecerdasanmu, mungkin selera humormu, mungkin perhatianmu, atau sikapmu yang begitu romantis. Atau barangkali aku cuma jatuh cinta dengan konsep memiliki seorang kekasih.
Tapi akhirnya aku sadar (lagi) kalau hubungan kita tidak mungkin diterima oleh Tuhan, dan tidak masuk akal, sehingga aku memutuskan untuk menghapus seluruh percakapan kita; satu-satunya kenangan yang kumiliki tentang dirimu. Aku harus belajar untuk menjalani hariku seperti saat aku belum berjumpa denganmu, berpura-pura kau tidak pernah ada dalam hidupku.
Namun setelah itu pun aku gagal. Aku tak kuasa menahan diri untuk menceritakan kepadamu bahwa salah satu orang paling berpengaruh di dunia mengunjungi sekolahku. Aku tidak tau mengapa, tapi rasanya aku perlu menceritakan itu padamu. Aku belum bisa benar-benar menghapusmu dari hidupku.
Karena itu, aku tidak akan lagi berusaha untuk melupakanmu, berpura-pura kau tak pernah ada. Aku hanya akan berusaha sabar untuk menerima bahwa mungkin kita tidak ditakdirkan bersama, dan bahwa aku baik-baik saja.
Prosa bebas oleh:
Hasna Mardhiah